Monday, September 04, 2006

The almighty and unpredictable GOD

Dear Rindu,

Lama aku tidak memberi kabar. Saat ini aku tidak akan cerita bagaimana aku bisa sampai di sini, tapi seperti cerita sebelumnya, aku hanya akan menceritakan perasaanku saat-saat ini.

Sungguh aku bersyukur akan penyertaan Tuhan yang luar biasa. Saat ini aku sedang dilatih untuk percaya bahwa kasih karuniaNya, kebajikan dan kemurahanNya tidak hanya “mengikuti aku” namun “mengejar” aku. Seperti ada tertulis “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa”. Kalau tidak salah merupakan bagian dari Mazmur Daud yang terkenal, pasal 23.

Dari Cengkareng aku berangkat ke Belanda bersama dua orang teman yang lain. Semenjak aku menginjakkan kaki di Amsterdam, berkat-berkat kurasakan senantiasa tercurah dan hampir tidak bisa dibendung. Belum sempat berpikir dan berkata, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan, aku sendirian …” Dan hal itu tidak terbukti. Tuhan tidak pernah membiarkan anaknya sendiri. Tuhan datang dalam rupa rekan-rekan yang menjemputku di sini. Lebih dari 10 rekan dari Indonesia menjemput kami. Dua di antara para penjemput, Om Narto dan Kang Yanto memang khusus menjemput diriku. Masih ingat Yanto kan? Bahkan aku tidak diperkenankan mengangkat bawaanku yang lumayan “ringan”, aku hanya turut dan mengikuti mereka. Bahkan kunci kamarku sudah diambilkan pula.

Saat itu hari Kamis, sekitar dua minggu sebelum perkuliahan dimulai.
“Masih jauh Kang?”
“Sebenarnya dekat, tapi kita berputar. Kita harus naik kereta Setasion Zoid WeTeCe dan pindah naik Metro nomor 51 dan turun di Oilensetede.”
Saat itu kami sedang menunggu kereta di suatu negeri “antah berantah” dengan bahasa yang “kadang masih bisa ditebak”. Lalu kereta datang. Dan setelah beberapa menit kita tiba di Station Zuid WTC.
“Lho tulisan Zuid WeTeCe. “
“Ya itu bacanya Setasion Zoid WeTeCe dan nanti kita turun di Uilenstede yang dibaca Oilensetede.”
“Oh…….. Oh ya cari sepeda dimana ya? Kita bisa hunting sepeda hari ini?”
Om Narto dan Kang Yanto saling berpandangan.
“Ya, hari ini kita akan bersepeda.”
“Waduh, aku entar bonceng siapa? Aku kan ndut.”
“Tidak perlu hunting, kami sudah siapkan sepeda untuk Seta hanya saja nanti kita ganti velg dulu”
Sekali lagi kemurahan Tuhan “mengejar” diriku. Dan itu tidak sampai disitu, selama seminggu aku di sini hampir tiada hari tanpa makan bersama mereka. Semua mereka yang masak dengan bahan dari mereka. Mereka pula yang membawaku keliling Amsterdam dan memperkenalkanku pada komunitas Indonesia dan Belanda yang mungkin akan sering berhubungan dengan aku. Dan memang betul, tidak lebih dari seminggu, kamarku sudah penuh dengan bahan makan dan beberapa alat untuk bertahan hidup, termasuk perkakas makan, kulkas dan magnetron (mikrowave). Semua alat tersebut adalah pemberian dari beberapa orang yang diantaranya tidak mau kuketahui supaya aku tidak merasa berhutang budi. Bayangkan, di kamarku ada televisi, kulkas dan magnetron. Aku bahkan tidak pernah membayangkan hal ini di Indonesia.

Sebenarnya itu sebagian kecil dari anugrah Tuhan yang tidak akan pernah aku mampu menghitungnya. Dan sebenarnya lagi aku bercerita ini karena aku malu pada diriku sendiri. Mengapa?

Ada tertulis, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?.” Kalau tidak salah ada di kitab Matius pasal 6. Namun terus terang aku kuatir saat ini dan saat aku kuatir dan sedikit berpikir, aku sadar aku tidak perlu kuatir. Betapa kasih karuniaNya tidak “hanya” mengikuti aku, namun bahkan “mengejar” aku.

Kau tahu apa yang aku kuatirkan? Secara legal aku belum “sempurna” jadi siswa di Belanda atas beasiswa StuNed. Aku belum memiliki bank account, yang untuk itu aku hanya bisa menunggu. Padahal yang lainnya tidak masalah. Saat aku yang mendaftar, ada peraturan baru yang membuat aku hanya bisa menunggu. Aku jadi teringat betapa aku sulit untuk mendapatkan visa. Dan itu, lagi-lagi hanya terjadi saat aku yang ambil visa. Dan aku juga belum melaporkan diri ke Gementee, semacam kabupaten. Aku takut akan jadi masalah lagi. Dan besok kuliah sudah dimulai. Karena tidak punya bank account, StuNed tidak bisa transfer dan aku belum dapat kiriman padahal pihak pengelola tempat yang aku tinggali sudah mengirim tagihan. Dan, mungkin, karena belum membayar, saluran internet di kamar diputus sejak 1 November kemarin.

Rindu, saat ini aku hanya bisa pasrah dan berseru pada Sang Maha Murah untuk maafkan dan ampuni aku. Mungkin ini terjadi karena sikapku yang angkuh dan arogan di saat-saat lalu, yang selalu ketat memegang prosedur sehingga terasa “mempersulit” dan hal itu tercermin berbalik padaku. Atau juga diperparah dengan pola pikirku yang “everything is by design dan by simulation”, jadi kalau di luar design dan not under control akan membuatku menderita. Aku belajar banyak hal akan hal ini Rindu, bahkan sebelum pelajaran formal dimulai. Aku akan berdoa untuk ini dan mohon dukung aku dengan doa.

Aku jadi teringat pada kata-kata yang muncul pada hape adikku saat dihidupkan, “Garis yang menghubungkan dua titik, tidak selamanya lurus”.

Rindu, tidak terasa beberapa bulir air mata mengalir dan membasahi pipiku yang semakin nyempluk ini. Aku memimpikan perjalanan dan sekolah di luar negeri ini sejak lama, dan jika aku tidak berangkat, aku akan menyesal selama sisa hidupku. Namun, aku tidak dapat menyangkal, aku merindukan Yogyakarta, aku merindukanmu dan Dinda, aku merindukan petualangan bersama Lia, aku merindukan makan siang bersama rekan-rekan di Universitas Sleman Timur, aku merindukan masakan Mamaku dan bertengkar dengan adikku, aku merindukan kasur empuk dan hangat di mana aku bangun pagi ada senyum manis istriku, aku merindukan istriku.

….. Aku tidak mampu bercerita lagi. Aku akan belajar berserah, karena rencana Tuhan selalu indah pada waktuNya. Dua hal yang aku sedang belajar untuk mengimani: indah dan pada waktunya. Pasti indah dan tidak pernah terlambat meski tidak pernah terlalu cepat atau predictable dan bahkan cara yang dipilihNya sering tidak pernah terbayangkan.

Salam kangen,
Seta Mulia

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home