Engkau, Lia, Eta, dan aku
Dear Rindu,Hari ini disini panas sekali padahal suhunya hanya 25 derajat Celcius, namun matahari langsung ke kamarku jadi seperti di oven. Saat ini aku masih baik-baik saja. Aku akan menceritakan bagaimana aku bisa sampai disini. Aku akan tunda ceritaku tentang hari-hariku disini. Karena jika hari-hariku di sini kuceritakan sekarang, aku tidak akan pernah menyelesaikan cerita tentang bagaimana aku bisa sampai di sini seperti yang aku pernah janjikan padamu.
Kali akhir aku bercerita adalah tentang aku mengirim aplikasi beasiswa dan melupakannya.
Pada tanggal 19 Mei 2006 jam 13.00 WIB, aku ditelpon Pak Jhon memberi kabar bahwa Pak Dono, dosenku dulu di Fakultas Farmasi USS yang juga dekan pertama Fakultas Farmasi UST meninggal dunia dan sekarang masih disemayamkan di Rumah Sakit Panti Rapih. Saat itu aku sedang di laboratorium komputer di UST. Lalu aku meluncur ke sekretariat fakultas dan menemukan rekan-rekan sudah berkumpul di sana. Kami pun segera meluncur ke RS Panti Rapih. Aku meluncur menumpang mobil Bu Wati dengan beberapa rekan. Diantaranya adalah Pak Yuli, Bu Tati dan Bu Asih. Sesampainya di RS Panti Rapih, kami mengucapkan bela sungkawa kepada Bu Dono dan keluarga dan mengikuti misa yang dipimpin oleh Romo Utomo, yang saat itu sampai sekarang menjabat sebagai Rektor UST. Saat itulah hapeku bergetar dan karena yang menelpon adalah nomor yang tidak kukenali dan berasal dari Jakarta, hape aku matikan. Sesaat setelah misa berakhir aku baru sadar: dari JAKARTA. Ooops .... bisa jadi ini panggilan wawancara, untung nomornya masih tersimpan di memori hape. Kemudian aku mencoba menelepon nomor tersebut,
"NEC, selamat sore.", sebuah suara lembut menggetarkan jiwa menyapa. Kenapa menggetarkan? Karena memang betul dari NEC, lembaga yang mengelola beasiswa StuNed.
"Hallo, saya Seta. Saya hanya ingin bertanya apakah NEC menelepon saya? Maaf, tadi saya matikan karena sedang mengikuti misa."
"Hmmmmm, sebentar...... Apakah Bapak mengirimkan formulir aplikasi beasiswa StuNed?"
"Ya, saya mengirimkan sekitar awal bulan yang lalu."
"Baik Pak. Tunggu sebentar ......... "
Sekitar 10 detik aku menunggu. Sepuluh detik itu terasa sebulan ..... Jantung ini semakin berdebar tak menentu (Dangdut bangetttt).
"Maaf Pak. Line yang call Bapak tadi sedang sibuk. Tunggu saja ya Pak. nanti akan di-call lagi oleh kami."
"Baik, Bu. Terima kasih." Selama aku menunggu aku hanya bisa diam dan tidak mampu berkonsentrasi meskipun suasana sedang riuh selesai misa. Konsentrasi hanya pada hape di saku celana sebelah kanan. Waktu serasa berhenti saat itu.
Dan hapeku bergetar lagi.
"Hallo Seta disini" Dalam hati aku tersenyum dan membatin, "Ya iyalah tidak disana."
"Selamat Sore, Seta. Saya April dari NEC."
"Oh ya, Bu April. Ada yang bisa saya bantu?" "Ya ampun, Saking groginya, basa-basi jadi wagu gitu"
"Begini, Seta. Seta termasuk dalam daftar cadangan (gubrak ...... CADANGAN ... apa maksudnya?) dalam kandidat penerima beasiswa StuNed. Seta diharapkan hadir untuk interview di Ruang Implementasi Fakultas Arsitek Universitas Sleman Selatan pada hari Senin tanggal 22 Juni besok yang dimulai pukul sembilan pagi."
"E..a...e", agak gagap aku jadinya, "Mmmaksud Ibu? Cadangan? Apakah berarti kalau semua datang, saya tidak diwanwancarai?"
"O (dibaca eou seperti pada home), bukan begitu. Semua akan diwanwancarai dan kandidat cadangan akan menerima beasiswa jika memenuhi persyaratan dan dinilai lebih layak daripada kandidat utama yang tidak memenuhi persyaratan dan dinilai tidak layak saat wawancara. Selengkapnya sudah saya kirim lewat e-mail juga beberapa persyaratan yang perlu dilengkapi. Jangan tidak datang ya Bapak. Semoga sukses." Saat itu aku membayangkan Bu April sambil tersenyum mengatakan semoga sukses.
"Baik Bu, terima kasih. Saya pasti datang. Saya sudah menantikan panggilan seperti ini sejak lama. Selamat sore." Telepon saya tutup dan hati ini semakin berdebar tidak sabar membuka e-mail.
Aku pun menghampiri Bu Asih sebagai rekan yang sama-sama mengirim aplikasi beasiswa StuNed.
"Bu, dapat telepon dari StuNed? Wawancara besok Senin." Serentak Bu Asih kaget dan sepertinya sangat kecewa. Aku tahu betul bahwa dia sangat mengharapkan beasiswa itu.
"Koq aku tidak dapat telepon ya Set?"
"Waduh aku tidak tahu , Bu. Mungkin belum, karena sepertinya yang mengelola hanya satu orang, dan dia selain telepon juga kirim e-mail. Aku juga hanya kandidat cadangan koq." Aku berkata begitu supaya Bu Asih tidak merasa putus harapan. Setidaknya saat itu. Akan sangat tidak enak kalau aku masih punya harapan sedangkan Bu Asih tidak, padahal Bu Asih lah yang sangat menginginkannya.
Lalu saat itu kami menuju mobil untuk kembali ke Universitas Sleman Timur. Kebetulan bertemu dengan Pak Marto, dosen yang memberi aku rekomendasi untuk mendaftar sekolah di VU. Aku pun bercerita dan memohon doa restu.
Sesampainya di UST, Bu Asih dan aku segera membuka e-mail kami masing-masing. Aku mendapat kabar bahwa aku adalah kandidat cadangan serta harus melengkapi dokumen berupa Letter of Admission asli dari VU dan fotokopi ijazah serta transkrip nilai yang dilegalisir. Sedangkan Bu Asih mendapat kabar bahwa dia adalah KANDIDAT UTAMA dan hanya perlu melengkapi fotokopi ijazah serta transkrip nilai yang dilegalisir. Betapa girangnya beliau saat itu sampai bersorak dan terduduk serta air mata mengalir ke pipinya. Air mata bahagia, kukira. Aku hanya berpikir, "Inikah kebahagiaan seseorang yang semakin dekat pada mimpinya, pada legenda pribadinya?"
Keesokan harinya, Bu Asih dan aku menyiapkan persyaratan-persyaratan tersebut dan menghadiri pemakaman Pak Dono. Di pemakaman itu, aku bertemu dengan beberapa kakak kelas di Fakultas Farmasi USS yang sudah lama tidak bertemu. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan untuk meminta dukungan doa dari mereka yang telah mengetahui "mimpiku" sejak lama.
Setelah pemakaman, aku pulang dan mempersiapkan hati untuk wawancara. Kebetulan esoknya adalah hari Minggu. Malam itu, aku mengajakmu ke Candi Hati Kudus Yesus, Ganjuran untuk sekedar hening mempersiapkan diri untuk menerima dan melaksanakan panggilan yang telah dituliskan oleh tangan yang sama dengan tangan yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Aku yakin kau masih ingat. Karena saat itu engkau sangat sedih dan memelukku erat seolah tidak mengizinkan aku pergi. Kecupan hangatmu di bibir ini masih terasa hingga saat ini. Aku mencintaimu seperti aku mencintai Lia dan Eta. Aku juga merindukan kalian, meskipun saat ini (dan sampai maut memisahkan kami) istriku adalah Eta, namun kisah dan saat-saat kita berbagi mimpi tidak akan pernah aku lupakan.
Rindu, maaf. Aku ada panggilan untuk bertemu dengan seorang rekanku. Cerita ini akan aku lanjutkan segera. Salam untuk Dinda. Baju yang kukirimkan apakah cocok untuknya?
Salam kangen,
Seta Mulia
1 Comments:
lah? jadi enade=seta?
benar begitu bang?
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home