Saturday, September 30, 2006

Enade dan Rindu

Itu surat terakhir yang ditunjukkan Rindu padaku, yang hendak dikirimkannya kepada Seta. Dia meminta pertimbanganku apakah surat ini dikirimkan atau tidak. Ini surat ketujuh yang ditunjukkannya kepadaku. Keenam surat yang lain adalah surat dari Seta untuknya. Aku tidak habis pikir, Seta ini maksudnya apa? Aku jadi kasihan pada Rindu.

"Kak En, aku harus bagaimana?"
"Aku juga sedang memikirkan hal ini. Aku bingung juga. Kau ini aneh. Kau tahu aku menaruh hati padamu meski kau pernah bilang kau akan fokus menyayangi Dinda. Eh, kau malah meminta pertimbangan ini padaku."
"Maaf, Kak. Aku tidak tahu harus meminta pertimbangan siapa lagi?"
"Kalau aku mengikuti perasaanku jawabnya adalah: Campakkan saja si Seta ini! Dia hanya mikir dirinya sendiri. Memikirkanmu dan Dinda hanyalah basa-basi."
"Kakak! Kak Seta tidak demikian. Andai dia hanya basa-basi pun, aku tulus mencintainya meskipun aku tidak bisa memilikinya."

Gubrak ...

Perkataan itu menusuk dan dada ini terasa perih
Serasa diiris sembilu dengan bumbu daun sereh

Halaah....

Aku tahu itu alasan sebenarnya Rindu menolak cintaku, bukan Dinda, namun aku tidak mungkin memaksa. Itu bukan gayaku. Sebenarnya aku merasa dalam posisi yang aneh sekarang. Ha...ha....ha.... Enjoy aja lagi. Toh Seta ada jauh disana dan Rindu ada di sini.

"Rindu, terserah kamu saja. Dengarkan saja kata hatimu yang paling dalam dan lakukanlah itu."

Wuih.... Aku koq bisa bijak juga. Sebentar ..... kuingat-ingat, oh ya, kalimat itu kubaca di sebuah buku karangan Anthony de Mello SJ. Kalau tidak salah, judulnya "Burung Berkicau".

"Aku bingung Kak. Aku tahu Kakak menaruh hati padaku, namun aku begitu dalam mencintai Kak Seta. Dia hadir sebagai seorang penolong saat aku sendirian. Kakak tahu kan, saat aku mengandung Dinda dan ayahnya tidak bertanggung jawab serta orang tuaku tidak mau mengenal aku lagi, Kak Seta lah yang selalu menolongku dan mendampingiku dengan tulus. Aku tidak mungkin melupakan itu. Aku cukup bahagia dengan kondisiku seperti ini, namun kadang perih juga memikirkan bahwa orang yang kucintai adalah milik orang lain. Aku tahu memang Kak Eta lah yang mampu membuat Kak Seta bahagia. Aku hanya merepotkan Kak Seta saja."
"Sudah Rindu, jangan berkata demikian. Kau seharusnya bersyukur ada Seta yang selalu melindungimu saat itu. Namun sekarang kondisinya lain, dia ada jauh di sana. Terserah kau, kau punya pilihan untuk mengirim surat itu atau tidak, namun itu tidak akan mengubah keadaan bahwa Seta jauh diseberang sana dan bukan milikmu. Dampak kau mengirim surat itu hanyalah kau lega, itu saja. Dan mengenai perasaan Seta yang membaca. Itu urusan dia. Ikutilah kata hatimu saja. Aku hanya bisa berkata padamu, Seta hanya ingin kau bahagia."

Sebenarnya aku ingin berkata, "Seta itu tidak peduli ama kamu. Dia menolong kamu hanya karena ego dia saja. Aku, aku lah yang peduli ama kamu. Aku lah yang ingin melihat kamu bahagia." Namun aku tidak mengucapkan itu karena aku hanya ingin melihat Rindu bahagia. Aku bahagia melihat Rindu bahagia, meski aku bahagia jika Rindu bahagia karena aku.

"Terima kasih Kak En. Aku pamit dulu. Aku akan kirimkan saja surat ini. Setidaknya aku tidak mengatakan bahwa aku mau putus hubungan dengan Kak Seta. Meski memang beberapa hal yang kutulis bertentang dengan keinginanku. Aku ingin Kak Seta ada di sini dan tidak pernah lupa untuk sekedar mengucapkan selamat malam. Namun semoga ini yang terbaik untuknya. Aku pulang dulu. Sekali lagi, terima kasih."
"Maaf, aku tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Salam buat Dinda."

Lalu kutemani Rindu sampai pintu keluar. Dan aku sendiri lagi malam ini. Aku tidak punya keberanian untuk memintanya tinggal.

Wednesday, September 27, 2006

Sepucuk surat dari Rindu

Ytk. Kak Seta,

Aku sengaja makai kata "ytk." biar Kakak sendiri mengartikan apakah artinya "yang terkasih" atau "yang terkutuk", atau kalau mau ya bisa saja jadi "yang terkutuk kekasihku". Aku protes karena Kakak menulis cerita tentang ce'-ce' lain di hati Kakak dengan tenang dan tanpa perasaan. Kakak gak pernah berubah dan tidak mau berubah dari dulu, sejak tahun 2000 saat kita bertemu. Aku kan pernah bilang pada Kakak, "Kakak memang tidak tahu perasaan wanita". Kakak pasti lupa akan perkataanku saat itu. Sudahlah ....

Kak Seta, terima kasih Kakak masih mengirimku kabar dan perhatian yang Kakak curahkan untuk Dinda. Namun ada yang lebih berhak akan itu Kak. Ingat Kakak sudah memilih untuk menikah dengan Kak Eta. Aku tidak bisa terus begini. Sudahlah Kak, jadilah Kakakku saja dan curahkanlah perhatian Kakak untuk Kak Eta. Aku masih sayang Kakak koq. Dinda dan aku juga tidak akan pernah mengusir Kakak jika Kakak nanti mampir ke rumah. Surat-surat Kakak juga akan selalu kubuka.

Sekarang saat Kakak sedang merasa "sendiri", aku sudah hampir dua minggu tidak mendapat kabar dari Kakak. Sudah dua minggu dan aku hanya bisa merasakan bahwa Kakak sedang "tertatih-tatih" di sana. Aku tahu siapa yang Kakak hubungi dan mampu menguatkan Kakak saat ini sehingga Kakak "lupa" padaku. Pasti Kak Eta, dan itu sudah layak dan sepantasnya. Kakak harusnya menyadari itu. Aku memang harus pergi dari kehidupan Kakak, namun aku tidak pernah bisa menghindari sapaan Kakak dan menghindari untuk tidak menyapa Kakak.

.....

Aku tidak tahu harus menulis apalagi selain selamat berjuang dan jangan pernah putus asa. Apa yang Kakak punya sudah cukup untuk "menikmati hari-hari" di Belanda sana. Kakak harus ingat bahwa Kakak sudah punya Tuhan. Kalau Kakak masih kuatir dan lain-lain berarti Kakak masih meragukan "kasih karunia"Nya.

Salam damai sejahtera karena aku tidak merasa berhak menulis salam kangen,
Rindu

Thursday, September 14, 2006

Aku lupakan lagi

Dear Rindu,

Kabarku di sini baik-baik saja. Aku yakin kau dan Dinda juga baik-baik saja. Jujur, akhir-akhir ini aku sedang mengalami "homesick" yang amat sangat berat yang pernah kualami. Bahkan dulu tiga bulan masa Pendidikan Dasar Kedisiplinan saat di SMA dulu tidak pernah aku "homesick' separah ini. Namun hal itu agak ringan ketika aku mencoba "live as Dutch live". Aku baru saja pulang dari "borrel", minum-minum bersosialisasi ala Belanda dengan teman satu fakultas di kampus. Aku mendapat seorang "sahabat" orang Belanda yang pengen punya istri orang Indonesia.

Aku teruskan ceritaku setelah panggilan wawancara. Senin, tanggal 22 Mei 2005 pukul 08.00, aku sudah hadir di tempat wawancara memakai baju batik kesayanganku. Minder juga melihat yang lainnya seperti sudah pasti keterima karena merupakan peserta program double degree. Aku merupakan peserta terakhir yang diwawancarai karena statusku yang "cadangan". Saat itu pertanyaannya lebih fokus tentang kesesuaian apa yang kutulis dengan kenyataan yang sebenarnya, motivasi dan kesiapan mental untuk diberangkatkan (hiikks, ternyata aku tidak cukup tangguh untuk tidak "homesick"). Terus tentang "korupsi", karena korupsi merupakan tema StuNed tahun ini.

Begitulah. Kemudian aku lupakan. Dan gempa mengguncang Jogja pada hari Sabtu di minggu yang sama aku diwawancarai. Dan semakin aku lupakan.

Aduh, perutku koq tiba-tiba sakit ya? Rindu, maafkan aku harus menyudahi cerita ini.

Beste,
Enade

Monday, September 11, 2006

Hari ini panas sekali ...

Dear Rindu,

Hari ini masih panas sekali. Aku jadi mudah marah. Aku semalam marah-marah pada istri yang kucintai meski dia sudah berbaik hati dengan sabar mendengarkan keluh kesahku. Seperti aku menulis kisah-kisahku padamu. Dan menjawab e-mail dari Lia yang disampaikan via friendster. Aku berbicara pada istriku dengan sms-sms singkat dan kadang-kadang dengan fasilitas Yahoo! Messenger.

Masih panas Rindu. Andai kau ada disini menyejukkan hatiku .... Maaf aku tidak bisa meneruskan ceritaku kali ini. Terlalu panas, tangan dan otak ini menjadi "kering".

Salam,
Seta Mulia

Sunday, September 10, 2006

Engkau, Lia, Eta, dan aku

Dear Rindu,

Hari ini disini panas sekali padahal suhunya hanya 25 derajat Celcius, namun matahari langsung ke kamarku jadi seperti di oven. Saat ini aku masih baik-baik saja. Aku akan menceritakan bagaimana aku bisa sampai disini. Aku akan tunda ceritaku tentang hari-hariku disini. Karena jika hari-hariku di sini kuceritakan sekarang, aku tidak akan pernah menyelesaikan cerita tentang bagaimana aku bisa sampai di sini seperti yang aku pernah janjikan padamu.

Kali akhir aku bercerita adalah tentang aku mengirim aplikasi beasiswa dan melupakannya.

Pada tanggal 19 Mei 2006 jam 13.00 WIB, aku ditelpon Pak Jhon memberi kabar bahwa Pak Dono, dosenku dulu di Fakultas Farmasi USS yang juga dekan pertama Fakultas Farmasi UST meninggal dunia dan sekarang masih disemayamkan di Rumah Sakit Panti Rapih. Saat itu aku sedang di laboratorium komputer di UST. Lalu aku meluncur ke sekretariat fakultas dan menemukan rekan-rekan sudah berkumpul di sana. Kami pun segera meluncur ke RS Panti Rapih. Aku meluncur menumpang mobil Bu Wati dengan beberapa rekan. Diantaranya adalah Pak Yuli, Bu Tati dan Bu Asih. Sesampainya di RS Panti Rapih, kami mengucapkan bela sungkawa kepada Bu Dono dan keluarga dan mengikuti misa yang dipimpin oleh Romo Utomo, yang saat itu sampai sekarang menjabat sebagai Rektor UST. Saat itulah hapeku bergetar dan karena yang menelpon adalah nomor yang tidak kukenali dan berasal dari Jakarta, hape aku matikan. Sesaat setelah misa berakhir aku baru sadar: dari JAKARTA. Ooops .... bisa jadi ini panggilan wawancara, untung nomornya masih tersimpan di memori hape. Kemudian aku mencoba menelepon nomor tersebut,
"NEC, selamat sore.", sebuah suara lembut menggetarkan jiwa menyapa. Kenapa menggetarkan? Karena memang betul dari NEC, lembaga yang mengelola beasiswa StuNed.
"Hallo, saya Seta. Saya hanya ingin bertanya apakah NEC menelepon saya? Maaf, tadi saya matikan karena sedang mengikuti misa."
"Hmmmmm, sebentar...... Apakah Bapak mengirimkan formulir aplikasi beasiswa StuNed?"
"Ya, saya mengirimkan sekitar awal bulan yang lalu."
"Baik Pak. Tunggu sebentar ......... "
Sekitar 10 detik aku menunggu. Sepuluh detik itu terasa sebulan ..... Jantung ini semakin berdebar tak menentu (Dangdut bangetttt).
"Maaf Pak. Line yang call Bapak tadi sedang sibuk. Tunggu saja ya Pak. nanti akan di-call lagi oleh kami."
"Baik, Bu. Terima kasih." Selama aku menunggu aku hanya bisa diam dan tidak mampu berkonsentrasi meskipun suasana sedang riuh selesai misa. Konsentrasi hanya pada hape di saku celana sebelah kanan. Waktu serasa berhenti saat itu.
Dan hapeku bergetar lagi.
"Hallo Seta disini" Dalam hati aku tersenyum dan membatin, "Ya iyalah tidak disana."
"Selamat Sore, Seta. Saya April dari NEC."
"Oh ya, Bu April. Ada yang bisa saya bantu?" "Ya ampun, Saking groginya, basa-basi jadi wagu gitu"
"Begini, Seta. Seta termasuk dalam daftar cadangan (gubrak ...... CADANGAN ... apa maksudnya?) dalam kandidat penerima beasiswa StuNed. Seta diharapkan hadir untuk interview di Ruang Implementasi Fakultas Arsitek Universitas Sleman Selatan pada hari Senin tanggal 22 Juni besok yang dimulai pukul sembilan pagi."
"E..a...e", agak gagap aku jadinya, "Mmmaksud Ibu? Cadangan? Apakah berarti kalau semua datang, saya tidak diwanwancarai?"
"O (dibaca eou seperti pada home), bukan begitu. Semua akan diwanwancarai dan kandidat cadangan akan menerima beasiswa jika memenuhi persyaratan dan dinilai lebih layak daripada kandidat utama yang tidak memenuhi persyaratan dan dinilai tidak layak saat wawancara. Selengkapnya sudah saya kirim lewat e-mail juga beberapa persyaratan yang perlu dilengkapi. Jangan tidak datang ya Bapak. Semoga sukses." Saat itu aku membayangkan Bu April sambil tersenyum mengatakan semoga sukses.
"Baik Bu, terima kasih. Saya pasti datang. Saya sudah menantikan panggilan seperti ini sejak lama. Selamat sore." Telepon saya tutup dan hati ini semakin berdebar tidak sabar membuka e-mail.

Aku pun menghampiri Bu Asih sebagai rekan yang sama-sama mengirim aplikasi beasiswa StuNed.
"Bu, dapat telepon dari StuNed? Wawancara besok Senin." Serentak Bu Asih kaget dan sepertinya sangat kecewa. Aku tahu betul bahwa dia sangat mengharapkan beasiswa itu.
"Koq aku tidak dapat telepon ya Set?"
"Waduh aku tidak tahu , Bu. Mungkin belum, karena sepertinya yang mengelola hanya satu orang, dan dia selain telepon juga kirim e-mail. Aku juga hanya kandidat cadangan koq." Aku berkata begitu supaya Bu Asih tidak merasa putus harapan. Setidaknya saat itu. Akan sangat tidak enak kalau aku masih punya harapan sedangkan Bu Asih tidak, padahal Bu Asih lah yang sangat menginginkannya.

Lalu saat itu kami menuju mobil untuk kembali ke Universitas Sleman Timur. Kebetulan bertemu dengan Pak Marto, dosen yang memberi aku rekomendasi untuk mendaftar sekolah di VU. Aku pun bercerita dan memohon doa restu.

Sesampainya di UST, Bu Asih dan aku segera membuka e-mail kami masing-masing. Aku mendapat kabar bahwa aku adalah kandidat cadangan serta harus melengkapi dokumen berupa Letter of Admission asli dari VU dan fotokopi ijazah serta transkrip nilai yang dilegalisir. Sedangkan Bu Asih mendapat kabar bahwa dia adalah KANDIDAT UTAMA dan hanya perlu melengkapi fotokopi ijazah serta transkrip nilai yang dilegalisir. Betapa girangnya beliau saat itu sampai bersorak dan terduduk serta air mata mengalir ke pipinya. Air mata bahagia, kukira. Aku hanya berpikir, "Inikah kebahagiaan seseorang yang semakin dekat pada mimpinya, pada legenda pribadinya?"

Keesokan harinya, Bu Asih dan aku menyiapkan persyaratan-persyaratan tersebut dan menghadiri pemakaman Pak Dono. Di pemakaman itu, aku bertemu dengan beberapa kakak kelas di Fakultas Farmasi USS yang sudah lama tidak bertemu. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan untuk meminta dukungan doa dari mereka yang telah mengetahui "mimpiku" sejak lama.

Setelah pemakaman, aku pulang dan mempersiapkan hati untuk wawancara. Kebetulan esoknya adalah hari Minggu. Malam itu, aku mengajakmu ke Candi Hati Kudus Yesus, Ganjuran untuk sekedar hening mempersiapkan diri untuk menerima dan melaksanakan panggilan yang telah dituliskan oleh tangan yang sama dengan tangan yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya. Aku yakin kau masih ingat. Karena saat itu engkau sangat sedih dan memelukku erat seolah tidak mengizinkan aku pergi. Kecupan hangatmu di bibir ini masih terasa hingga saat ini. Aku mencintaimu seperti aku mencintai Lia dan Eta. Aku juga merindukan kalian, meskipun saat ini (dan sampai maut memisahkan kami) istriku adalah Eta, namun kisah dan saat-saat kita berbagi mimpi tidak akan pernah aku lupakan.

Rindu, maaf. Aku ada panggilan untuk bertemu dengan seorang rekanku. Cerita ini akan aku lanjutkan segera. Salam untuk Dinda. Baju yang kukirimkan apakah cocok untuknya?

Salam kangen,
Seta Mulia

Monday, September 04, 2006

The almighty and unpredictable GOD

Dear Rindu,

Lama aku tidak memberi kabar. Saat ini aku tidak akan cerita bagaimana aku bisa sampai di sini, tapi seperti cerita sebelumnya, aku hanya akan menceritakan perasaanku saat-saat ini.

Sungguh aku bersyukur akan penyertaan Tuhan yang luar biasa. Saat ini aku sedang dilatih untuk percaya bahwa kasih karuniaNya, kebajikan dan kemurahanNya tidak hanya “mengikuti aku” namun “mengejar” aku. Seperti ada tertulis “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa”. Kalau tidak salah merupakan bagian dari Mazmur Daud yang terkenal, pasal 23.

Dari Cengkareng aku berangkat ke Belanda bersama dua orang teman yang lain. Semenjak aku menginjakkan kaki di Amsterdam, berkat-berkat kurasakan senantiasa tercurah dan hampir tidak bisa dibendung. Belum sempat berpikir dan berkata, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan, aku sendirian …” Dan hal itu tidak terbukti. Tuhan tidak pernah membiarkan anaknya sendiri. Tuhan datang dalam rupa rekan-rekan yang menjemputku di sini. Lebih dari 10 rekan dari Indonesia menjemput kami. Dua di antara para penjemput, Om Narto dan Kang Yanto memang khusus menjemput diriku. Masih ingat Yanto kan? Bahkan aku tidak diperkenankan mengangkat bawaanku yang lumayan “ringan”, aku hanya turut dan mengikuti mereka. Bahkan kunci kamarku sudah diambilkan pula.

Saat itu hari Kamis, sekitar dua minggu sebelum perkuliahan dimulai.
“Masih jauh Kang?”
“Sebenarnya dekat, tapi kita berputar. Kita harus naik kereta Setasion Zoid WeTeCe dan pindah naik Metro nomor 51 dan turun di Oilensetede.”
Saat itu kami sedang menunggu kereta di suatu negeri “antah berantah” dengan bahasa yang “kadang masih bisa ditebak”. Lalu kereta datang. Dan setelah beberapa menit kita tiba di Station Zuid WTC.
“Lho tulisan Zuid WeTeCe. “
“Ya itu bacanya Setasion Zoid WeTeCe dan nanti kita turun di Uilenstede yang dibaca Oilensetede.”
“Oh…….. Oh ya cari sepeda dimana ya? Kita bisa hunting sepeda hari ini?”
Om Narto dan Kang Yanto saling berpandangan.
“Ya, hari ini kita akan bersepeda.”
“Waduh, aku entar bonceng siapa? Aku kan ndut.”
“Tidak perlu hunting, kami sudah siapkan sepeda untuk Seta hanya saja nanti kita ganti velg dulu”
Sekali lagi kemurahan Tuhan “mengejar” diriku. Dan itu tidak sampai disitu, selama seminggu aku di sini hampir tiada hari tanpa makan bersama mereka. Semua mereka yang masak dengan bahan dari mereka. Mereka pula yang membawaku keliling Amsterdam dan memperkenalkanku pada komunitas Indonesia dan Belanda yang mungkin akan sering berhubungan dengan aku. Dan memang betul, tidak lebih dari seminggu, kamarku sudah penuh dengan bahan makan dan beberapa alat untuk bertahan hidup, termasuk perkakas makan, kulkas dan magnetron (mikrowave). Semua alat tersebut adalah pemberian dari beberapa orang yang diantaranya tidak mau kuketahui supaya aku tidak merasa berhutang budi. Bayangkan, di kamarku ada televisi, kulkas dan magnetron. Aku bahkan tidak pernah membayangkan hal ini di Indonesia.

Sebenarnya itu sebagian kecil dari anugrah Tuhan yang tidak akan pernah aku mampu menghitungnya. Dan sebenarnya lagi aku bercerita ini karena aku malu pada diriku sendiri. Mengapa?

Ada tertulis, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?.” Kalau tidak salah ada di kitab Matius pasal 6. Namun terus terang aku kuatir saat ini dan saat aku kuatir dan sedikit berpikir, aku sadar aku tidak perlu kuatir. Betapa kasih karuniaNya tidak “hanya” mengikuti aku, namun bahkan “mengejar” aku.

Kau tahu apa yang aku kuatirkan? Secara legal aku belum “sempurna” jadi siswa di Belanda atas beasiswa StuNed. Aku belum memiliki bank account, yang untuk itu aku hanya bisa menunggu. Padahal yang lainnya tidak masalah. Saat aku yang mendaftar, ada peraturan baru yang membuat aku hanya bisa menunggu. Aku jadi teringat betapa aku sulit untuk mendapatkan visa. Dan itu, lagi-lagi hanya terjadi saat aku yang ambil visa. Dan aku juga belum melaporkan diri ke Gementee, semacam kabupaten. Aku takut akan jadi masalah lagi. Dan besok kuliah sudah dimulai. Karena tidak punya bank account, StuNed tidak bisa transfer dan aku belum dapat kiriman padahal pihak pengelola tempat yang aku tinggali sudah mengirim tagihan. Dan, mungkin, karena belum membayar, saluran internet di kamar diputus sejak 1 November kemarin.

Rindu, saat ini aku hanya bisa pasrah dan berseru pada Sang Maha Murah untuk maafkan dan ampuni aku. Mungkin ini terjadi karena sikapku yang angkuh dan arogan di saat-saat lalu, yang selalu ketat memegang prosedur sehingga terasa “mempersulit” dan hal itu tercermin berbalik padaku. Atau juga diperparah dengan pola pikirku yang “everything is by design dan by simulation”, jadi kalau di luar design dan not under control akan membuatku menderita. Aku belajar banyak hal akan hal ini Rindu, bahkan sebelum pelajaran formal dimulai. Aku akan berdoa untuk ini dan mohon dukung aku dengan doa.

Aku jadi teringat pada kata-kata yang muncul pada hape adikku saat dihidupkan, “Garis yang menghubungkan dua titik, tidak selamanya lurus”.

Rindu, tidak terasa beberapa bulir air mata mengalir dan membasahi pipiku yang semakin nyempluk ini. Aku memimpikan perjalanan dan sekolah di luar negeri ini sejak lama, dan jika aku tidak berangkat, aku akan menyesal selama sisa hidupku. Namun, aku tidak dapat menyangkal, aku merindukan Yogyakarta, aku merindukanmu dan Dinda, aku merindukan petualangan bersama Lia, aku merindukan makan siang bersama rekan-rekan di Universitas Sleman Timur, aku merindukan masakan Mamaku dan bertengkar dengan adikku, aku merindukan kasur empuk dan hangat di mana aku bangun pagi ada senyum manis istriku, aku merindukan istriku.

….. Aku tidak mampu bercerita lagi. Aku akan belajar berserah, karena rencana Tuhan selalu indah pada waktuNya. Dua hal yang aku sedang belajar untuk mengimani: indah dan pada waktunya. Pasti indah dan tidak pernah terlambat meski tidak pernah terlalu cepat atau predictable dan bahkan cara yang dipilihNya sering tidak pernah terbayangkan.

Salam kangen,
Seta Mulia