Wednesday, August 30, 2006

Menatap lekat wajahmu setiap saat

*******

Dear Rindu,

Pagi ini aku menjemput Asih di bandara Schiphol dan mengantarnya sampai Stasiun Groningen. Pemandangan dari Schiphol sampai Groningen cukup menarik, namun bagiku saat ini cukup monoton. Apakah aku sudah terserang homesick?

Ah, jangan dibahas mengenai itu. Bisa-bisa menetes airmata ini. Aku betul-betul merindukan Indonesia. Aku betul-betul merindukan istriku. Aku sungguh-sungguh merindukan Lia dan aku sungguh-sungguh merindukanmu.

Aku tidak bisa cerita apa-apa malam ini. Rencananya mau memulai cerita dari awal panggilan wawancara hingga memilih menikah atau sekolah. Tapi rasanya berat …… Dalam benakku berkecamuk semua hal yang telah terjadi dan aku tidak bisa menuliskannya.saat ini. Maaf.

Aku teringat ……

“Ingin rasanya menatap lekat
wajahmu setiap saat
……
*******
???

memelukmu erat
dan memintal cinta dalam naungan berkat”

Ya, aku teringat. Apakah kau masih mengenang hari-hari itu Rindu? Sampaikan salamku untuk Dinda.

Beste,
Setia Mulia

Tuesday, August 29, 2006

Dan kulupakan ... ... .

*******

Dear Rindu,

Hari ini ada surat dari provider internet karena ada beberapa perbaikan sehingga koneksi akan terganggu. Ah, menyebalkan. Saat-saat ini, internet merupakan alat pembunuh rinduku yang paling utama dan terutama. So, aku jalan-jalan dan belanja saja untuk kebutuhan hingga minggu depan.

Sepertinya soal “kegagalan”-ku mencari beasiswa ke Australia sudah selesai aku ceritakan. Berdasarkan pengalaman tersebut ada sedikit kiat-kiat bagi yang ingin cari beasiswa ke Australia: Raih IPK dan score TOEFL setinggi mungkin sembari mencari informasi dan korespondensi dengan pihak universitas di Australia. Kalau IPK dan score TOEFL kan harus dirintis sejak awal masuk kuliah. Jadi yang belum lulus berjuanglah! Sedangkan korespondensi dapat dicari via internet. Selama ini aku selalu dapat korespondensi dan dapat acceptance letter, tapi tidak dapat beasiswanya. He..he..he..

Terus terang setelah kegagalanku di tahun 2005 aku mulai tidak berharap terlalu banyak. Lagipula, aku dapat “jatah” sekolah di tahun 2006. Jadi tahun ini aku pasti sekolah mesti “hanya” di dalam negeri, di Universitas Sleman Selatan lagi. Bukan “hanya” sih, tapi kan mimpiku adalah belajar di luar negeri. Namun, di pertengahan tahun 2005 (saat itu aku belum dinyatakan gagal untuk yang keempat kalinya), salah seorang rekanku yang bernama Yanto sekolah ke Belanda di Vrije Universiteit (VU) atas biaya keluarganya. Saat itu dia minta ditemani membuat Passport dan aku menemani dan membuat Passport sekalian. Kemudian aku sadar, saat ini adalah tahun ketiga aku bekerja di Universitas Sleman Timur sehingga aku bisa apply beasiswa ke Jerman maupun ke Belanda yang mensyaratkan telah memiliki pengalaman kerja setidaknya tiga tahun.

Kemudian aku mempelajari syarat dan prosedur untuk mendapat beasiswa ke Jerman di www.daad.de dan kutemukan aku harus mendapat sekolah dulu dengan bukti acceptance letter. Aku pun kemudian mencari program-program yang ditawarkan oleh universitas-universitas di Jerman dan kutemukan bahwa dokumen yang kuserahkan sangat banyak hingga raport zaman SMA yang telah diterjemahkan ke Deutch oleh penerjemah tersumpah. Aku pun ikut les Deutch segala. Namun, ternyata aku tidak cukup tangguh untuk memproses aplikasi untuk mendapat sekolah ke Jerman, apalagi aplikasi beasiswanya.

Lalu aku beralih ke Belanda dan mencari informasi di www.nec.or.id dan fokus pada StuNed Scholarship Programme. Ternyata syaratnya juga harus mendapat sekolah dulu, namun untuk mendapat sekolah tidak serumit dengan Jerman. Aku ingin sekolah di VU, seperti Yanto dan seperti Pak Amir dan Pak Marto dosen pembimbing skripsiku saat S1 dulu. Semua dokumen sudah kumiliki. Oh ya, syarat yang agak lebih berat dari ADS adalah score TOEFL harus setidaknya 550 dan setidaknya Institutional TOEFL. Beruntung saat Test Institutional TOEFL yang diselengarakan di Universitas Sleman Timur, aku mendapat score 570. Hal ini kuraih setelah ambil kursus preparasi TOEFL. Score TOEFL ini juga merupakan syarat mendaftar di VU selain fotokopi Passport (yang untungnya sudah kumiliki karena ikut-ikutan Yanto) dan dokumen baku seperti mengisi formulir, CV, kopi ijazah dan transkrip dan lain-lain.

Aku bermaksud titip Yanto saat itu namun ketika dia sudah sampai Belanda, sekitar akhir Agustus 2005, dia memberi kabar bahwa berkasku ketinggalan di rumahnya. Akhirnya aku mengambil ke rumahnya dan kukirimkan via kurir. Aku jadi gak enak ama Yanto. Setelah tahu bahwa berangkat ke negeri orang sangat ribet, eh malah dititip pula. Dan kemudian aplikasi tersebut kulupakan.

Sekitar bulan November ada e-mail dari VU bahwa aplikasiku sudah diterima dan akan segera diproses. Dan kulupakan lagi.

Sekitar bulan Desember 2005, aku dipanggil Bapak Dekan dan diberitahu bahwa ada seorang Professor dari Hokkaido University yang tertarik untuk menjadikan aku kandidat Doktor di bawah bimbingannya. Namun setelah kontak-kontak, syaratnya adalah telah sudah bergelar Master dan aku kalah dengan orang Bangladesh (katanya sih ….) untuk mendapatkan beasiswa program Master tahun itu. Ha…ha…ha…. Nasib baik nasib buruk siapa yang tahu…… Yang berangkat adalah seorang rekanku akhirnya.

Akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Lho? Apa hubungannya? Rindu, kamu tahu kan, aku sudah berpacaran dengan Eta selama lima tahun. Aku tahu dia memang bukan yang sempurna untukku, begitu pula aku untuknya. Namun komitmen yang telah kami sepakati lima tahun silam perlu untuk segera diproklamirkan sehingga secara de facto dan de jure tidak menjadi masalah di kemudian hari. Maksudnya? Gak tahu ah! Complicated! Masalahnya adalah .... kalau aku menikah akan sangat berat untuk pergi studi ke luar negeri.

Dan proses pernikahan pun dimulai dan direncanakan kami akan menikah tanggal 5 Agustus 2006. Terus terang hal ini memang cukup berat bagiku karena selain masalah "mengejar impian", ada orang lain selain Eta dan kamu yang juga telah mengisi hatiku dan cukup dalam. Andaikan aku bisa memilih pun, aku tidak akan bisa memilih salah satu. Hanya komitmenku yang telah memilihkan untukku. Hari-hariku saat itu pergumulan tentang itu dan tiba-tiba April 2006 pun telah tiba. Letter of Acceptance dari VU telah tiba dan akhirnya aku mengirim formulir StuNed Scholarship Programme ke Netherland Education Centre (NEC). Dan kulupakan lagi.

Oh ya, aku tadi memasukkan cucian. Mungkin sekarang sudah selesai. Okay, lain kali kita sambung lagi. Terima kasih ya atas kiriman fotomu dengan Dinda. Semakin lucu saja anak itu.

Beste,
Seta Mulia

Sunday, August 27, 2006

Anda siapa ya?

Dear Rindu,

Maaf baru bisa meneruskan ceritaku sekarang. Tadi malam aku sudah menyelesaikan cerita ini, namun tiba-tiba hang dan aku kehilangan tulisanku itu. Ternyata di negara maju juga bisa hang juga ya? Nothing is perfect meskipun nothing is imposible. Maksudnya? He..he..he..aku juga tidak tahu pasti.

Sekarang kau pasti sudah balik dari gereja dan bersiap untuk makan siang. Aku baru saja selesai mandi dan makan pagi. Sarapanku pagi ini adalah enam lembar roti serat coklat (Alot! Jadi bikin kenyang), dua lembar ham, satu lembar keju, dengan sayuran tomat, bawang Bombay dan selada. Dan memang betul, aku betul-betul kekenyangan sekarang. Oh ya, saat ini disini sedang hujan. Suasananya mirip Kota Salatiga saat sedang hujan. Kau masih ingat kan saat-saat kita menembus hujan lebat menuju Kota Salatiga menggunakan sepeda motor?

Okay. Aku lanjutkan ceritaku.

Saat itu Juli 2002, dokumen berupa legalized kopi ijazah S1 dan transrip nilai serta terjemahan ke dalam Bahasa Inggris, legalized kopi akta kelahiran, curriculum vitae (CV), sertifikat TOEFL (Oh ya, aku dah tes TOEFL saat itu dan mendapat score 520), foto 3 x 4, daftar publikasi ilmiah (He..he..he.., aku baru punya satu waktu itu di Majalah Farmasi Indonesia), dan rekomendasi dari pembimbing skripsiku, Pak Marto, sudah siap. Yang kurang adalah tinggal rekomendasi baik dari Professor Indonesia maupun Aussie, dan Outline of the Proposed Research Project.

Pada suatu kesempatan selesai kuliah profesi (Oh ya, setelah selesai kuliah S1 aku meneruskan mengambil kuliah profesi apoteker sembari mengerjakan proyek penelitian pengembangan senyawa baru analog kurkumin, memperoleh dana dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional), aku berbincang-bincang dengan Chandra di depan ruang kuliah. Saat itu, sebenarnya, aku “ada hati” dengan Chandra, namun aku tidak berani mengatakannya. Aku yakin Chandra pun bisa merasakan itu dan dia memilih untuk cuek saja.
“Cha (panggilan sayangku untuk Chandra), dokumenku untuk aplikasi beasiswa ke Aussie masih kurang rekomendasi dari Professor di Indonesia dan Aussie, dan Outline of the Proposed Research Project nih. Gimana ya?” Suatu pertanyaan retoris yang aku sudah tahu jawabnya.
“Seta, aku dah pernah bilang kan? cayank……. Kamu tuh tinggal nemuin Pak Onggo untuk cari kontak beliau di Aussie dan kalau beliau bersedia, sekalian minta rekomendasi. Pak Onggo adalah orang yang tepat untuk itu. Semua orang di Fakultas Farmasi Universitas Sleman Selatan tahu betul kalau Pak Onggo itu Professor Medicinal Chemistry (Oh ya, bidang imu yang kuminati adalah Medicinal Chemistry. Itu tuh ilmu yang didedikasikan untuk penemuan obat baru) dan beliau lulusan Aussie. Permasalahannya sekarang adalah: You are not brave enough to do that!”, Chandra menjawab pertanyaan dengan nada sebal, sepertinya. Dan tiba-tiba, Pak Onggo lewat dan berhenti cukup lama di depan kami. Sepertinya beliau sedang menunggu jemputan. Suatu pertanda?
“Seta, kesempatan tuh.”
“Tapi…. Aku segan Cha! Aku kan belum pernah berhaha-hihi dengan beliau. Nanti kalau beliau bertanya, “Anda siapa ya?”. Aku harus bagaimana? Tengsin tahu!
“Seta…Seta. Nothing to lose my friend. Kau tinggal bilang siapa dirimu dan apa maumu, Kan selesai. Kalau gak pernah dicoba siapa yang tahu?” Ooops, aku baru sadar sekarang. Ya ampun.... Baru aku sadar sekarang saat menulis ini. Pernyataan tersebut bisa jadi juga dimaksudkan bahwa aku harus menyatakan cinta padanya untuk tahu apakah dia mencintaiku juga. Sudah lah, tidak ada kaitannya cerita ini dengan kisah cintaku itu. Lalu aku berdiri dan melangkah mendekati Pak Onggo.
“Selamat siang, Pak.”
“Ya, selamat siang. Anda siapa ya?” Dueeeng gubrak! Betul kan? Untung tadi sempat dibahas. Dengan sedikit grogi, kujawab, ”Saya Seta, Pak. Angkatan 97 lulus Februari lalu. Sekarang sedang ambil profesi dan membantu Pak Amir mengembangkan analog kurkumin.”
“Ya, ada yang bisa saya bantu?” Yuuks, pertanyaan yang ditunggu-tunggu.
“Saya dengar Bapak mendapat Master dan Ph.D di Australia ya Pak?” (Pertanyaan retoris lagi).
Kemudian Pak Onggo dengan bersemangat menceritakan kisah studinya di Australia. Dari cerita beliau aku tahu bahwa beliau studi untuk masternya di University of New South Wales (UNSW).
“Saya ingiiiiiin sekali mengikuti jejak Bapak. Apakah Bapak masih ada kenalan yang bisa saya kontak?”
“Maaf ya, Dik. Saya sekolah sudah lama sekali. Sekarang pasti sudah pada pensiun.” Dan, mobil penjemput Pak Onggo pun datang. Pak Onggo kemudian berjalan menuju mobil tersebut. Pupuslah harapanku. Namun, setelah berjalan kira-kira tujuh langkah, Pak Onggo menoleh ke belakang dan berkata, “Dik, kalau suatu waktu butuh rekomendasi dari saya, jangan sungkan-sungkan, temui saja saya di kantor. Good luck!” Plaash…. Rasanya hati ini lega dan berbunga-bunga. Lalu, sambil masih “melayang”, aku berjalan ke tempat Chandra dan aku duduk tadi. Chandra masih di sana.
“Betul kan, Seta. Kalau gak dicoba, mana tahu?”
Yuuks….. Thanks Cha. You are my inspiration?”
Only inspiration?”
Aku hanya tersenyum dan anganku masih melayang-layang. Sayang aku tidak cukup sadar untuk menangkap sinyal-sinyal yang diberikannya saat itu. Aku jadi teringat Chandra saat ini. Dia lagi berusaha untuk dapat beasiswa S3 di Aussie. May GOD bless her.

Aku teruskan lagi cerita ini. Ternyata masih ada satu Professor sangat-sangat senior (untuk menghindari kata sangat-sangat tua) di UNSW yang dikenal Pak Onggo. Lalu aku bisa dapat rekomendasi dari Prof. Onggo dan Professor yang sangat-sangat senior tersebut serta berhasil menyusun Outline of the Proposed Research Project dengan bantuan keduanya.

Akhirnya semua dokumen sudah terkumpul semua dan formulir sudah kuisi. Aku kirimkan aplikasi tersebut dan hasilnya? Seperti yang kau ketahui, aku tidak dipanggil untuk tahapan seleksi selanjutnya, yaitu wawancara. Begitu pula dengan aplikasi yang kuajukan tahun 2003, 2004, dan 2005. Meskipun sejak 2003 aku sudah bekerja sebagai dosen di Fakultas Farmasi Universitas Sleman Timur. Ah, ternyata aku tidak mudah menyerah juga. Berdasarkan isu yang beredar, ADS memanggil 600 orang untuk diwawancara dengan me-ranking berdasarkan indeks prestasi kumulatif (IPK) dan score TOEFL dari lebih dari 4000 aplikasi. IPK dan score TOEFL yang kumiliki hanya sedikit diatas persyaratan. Apalagi diutamakan pegawai negeri sipil (PNS), wanita dan penduduk yang berdomisili di Indonesia sebelah timur. Aku tidak menjadi prioritas dan sedikit peluangku untuk lanjut. Rekomendasi dan dokumen tambahan yang kuperjuangkan tadi akan sangat berguna jika aku sudah memasuki tahap wawancara.

Begitulah Rindu, akhir cerita hari ini. Apapun hasilnya saat itu, aku sudah belajar banyak hal dari pengalaman ini. Terus terang, aku sudah mulai pupus harapan namun seperti kata Chandra, “Kalau gak dicoba, mana tahu?”, aku masih mencoba dan terus mencoba. Aku akan ceritakan di lain waktu mengenai “percobaan” yang aku lakukan.

Sekian dulu cerita ini. Salam dan peluk cium buat Dinda. Putrimu yang cantik dan centil itu. Masih rewelkah dia?

Beste,

Seta Mulia

Saturday, August 26, 2006

Pada mulanya adalah mimpi

*******
Laan van Kronenburg 431, 26 Augustus 2006

Hallo Rindu,

Aku sungguh-sungguh merindukanmu saat ini. Apa kabarmu? Aku yakin engkau pasti baik-baik saja. Aku menduga engkau sedang bersiap tidur sekarang, saat aku disini masih bertarung melawan jet lag. Sekarang di sini, di Belanda, masih pukul 16.30 jadi di tempatmu sudah pukul 21.30 WIB. Jam ini biasanya aku juga sudah bersiap tidur. Kalau aku tidur sekarang, aku akan terbangun pukul 02.00 dan tidak bisa tidur lagi karena itu berarti jam 07.00 WIB. Jam biologisku harus diubah untuk mengikuti jam sini, sehingga aku memaksa diri tidak tidur saat ini hingga jam 10.00.

Oh ya, aku berjanji bercerita padamu apa dan bagaimana aku bisa sampai melanglang buana ke negeri kincir angin ini. Okay. Hal itu pertama kali dipicu oleh mimpi yang kupercaya merupakan "legenda pribadi"ku yaitu melanjutkan sekolah dan mengambil gelar Master atau Ph.D di luar negeri. Sejak empat tahun lalu, tepatnya setelah lulus dan sedang mengambil kuliah untuk mendapatkan gelar apoteker sebagai kelanjutan Sarjana Farmasi yang kudapat, aku mulai hunting di internet untuk memperoleh informasi mengenai jalur yang bisa kutempuh untuk mewujudkan "legenda pribadi"ku. Aku sadar, aku tidak mungkin minta orang tua maupun menabung sekuat apapun untuk mewujudkan mimpi ini. Aku harus berjuang untuk dapat beasiswa dengan restu orang-orang yang mengasihi aku tentunya.

Berdasarkan informasi yang kuperoleh dari internet, terbuka 1 jalur yang mungkin saat itu, yaitu Australian Development Scholarship (ADS) yang merupakan beasiswa dari Pemerintah Australia. Berdasarkan info yang kuperoleh di http://www.adsjakarta.or.id/, persyaratan utama adalah IPK minimum 2,9 dan Institutional TOEFL 500. Saat itu aku berpikir, "Kayanya aku bisa deh."
Lalu aku mencoba cari lebih banyak informasi dan kutemukan bahwa salah satu pacar temanku sekelas ada yang akan berangkat ke Aussie dengan beasiswa ADS dan salah satu Professor yang sangat kusegani di kampus memperoleh gelar Master dan Ph.D-nya di Aussie. Saat ketemu dengan pacar temanku yang selalu menjemput di siang hari seusai kuliah profesi, aku selalu bertanya mengenai pengisian formulir dan prosedur yang dia lalui sehingga bisa memperoleh beasiswa ADS. Aku dapat bocoran bahwa TOEFL-like pun boleh dan akan lebih baik bisa dapat rekomendasi dari Professor sebidang di Indonesia yang disegani orang Aussie maupun Professor Aussie tempat akan sekolah. Katanya akan menambah poin saat wawancara tentang "kesiapan". Namun sayang, mungkin rekomendasi-rekomendasi tersebut bagiku tidak berguna. Aku akan
ceritakan nanti mengapa.

Aku pun mulai download formulir. Ah, ternyata aku sudah terlambat. Saat itu Maret 2002 dan ADS biasanya membuka pendaftaran pada bulan Agustus-September. Namun aku masih bisa mempelajari form yang tahun 2002 yang paling lambat dikirim September 2001. Berdasarkan form tersebut aku mulai melengkapi dokumen yang dibutuhkan. Semua aku sudah punya, tinggal rekomendasi dari Professor di Indonesia dan Aussie dan Outline Proposed Research Project, dan hasil tes TOEFL. Eh, jadi sadar kalau tidak bisa dibilang "tinggal", tapi kan lebih
baik optimis toch?

Ah, aku kira kau sudah menguap lebih dari 7 kali. Sekarang sudah pukul 17.20 disini atau pukul 22.20 WIB. Aku mandi dulu. Maklum orang Indonesia, meskipun Meylin, tetanggaku yang cantik heran melihat aku mandi dua kali sehari. Katanya kulit jadi lebih kering dan mudah luka jika keseringan mandi di Negeri yang anginnya sangat dingin ini.

Sampai di sini dulu. Aku akan teruskan nanti setelah mandi.

Beste,
Seta Mulia